Revisi UU KPK: Bentuk Pelemahan Lembaga
--None--
Selasa, 17/09/2019, 15:08:44 WIB

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan. Mulai para akademisi sampai pengamat. Masa depan KPK sebagai lembaga antirasuah dipertaruhkan dalam revisi UU ini. Saat ini KPK menjadi lembaga yang masih bisa diharapkan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi meski mustahil tak akan ada korupsi di sistem demokrasi. Jika revisi UU tersebut disahkan, KPK tak akan sekuat dulu.

Usulan revisi UU KPK ini bukanlah hal yang baru. Pasalnya di era kepemimpinan Jokowi tercatat DPR mengusulkan 4 kali revisi UU KPK. Jauh sebelum itu, usulan revisi ini telah ada di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2015 namun ditunda. Di penghujung kerja periode 2014-2019 ini, usulan kembali muncul. Bahkan Presiden sudah memberikan surat (surpres) menanggapi inisiatif DPR tersebut.

Presiden pada dasarnya menyetujui revisi UU KPK meski beberapa poin mengalami penolakan. Presiden menilai bahwa UU KPK telah berusia 17 tahun dan perlu penyempurnaan. Kemudian mengenai Dewan Pengawas juga demikian. Perlu adanya Dewan Pengawas seperti halnya lembaga lain.

Tak butuh waktu lama. DPR segera mengadakan rapat untuk membahas poin-poin yang direvisi. Rapat antara DPR dan pemerintah menghasilkan kesepakatan poin yang direvisi. Poin-poin yang disepakati antara lain pembentukan dewan pengawas, izin penyadapan, ketentuan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penyidik dari unsur Aparatur Sipil Negara (ASN).

Di saat pembahasan revisi UU KPK masih bergulir, panitia seleksi calon pimpinan KPK menyerahkan daftar nama capim ke DPR. Tak butuh waktu lama juga, Komisi DPR mengetok palu pimpinan yang baru.

Usulan revisi yang muncul di penghujung masa kerja tentu menyisakan tanda tanya besar. Ada apa gerangan? Mengapa terkesan terburu-buru dan dipaksakan? Poin-poin dengan cepat disetujui dan masuk ke paripurna. Sementara masih ada revisi UU lain yang hingga bertahun-tahun juga tak kunjung selesai.

Berbagai dugaan muncul. Contohnya saja dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Dikutip dari Republika (16/9/2019), ICW mencatat adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dugaan itu lantaran banyaknya anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 ditetapkan tersangka oleh lembaga anti rasuah tersebut. ICW mencatat sepanjang lima tahun terakhir, 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Kemudian dilansir dari kompas.com (14/9/2019), Tim Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas menduga revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar seluruh kasus besar yang ditangani KPK dihentikan penyelidikannya.

Jika usulan revisi UU disahkan, ini justru melemahkan lembaga KPK dan makin membuka pintu lebar bagi tindak korupsi. KPK menjadi lembaga yang tidak independen lagi. KPK memiliki dewan pengawas yang memiliki peran vital di antaranya  memberikan izin untuk melakukan penyadapan. Keberadannya justru bisa mereduksi pimpinan KPK.

Publik patut menanyakan komitmen atau janji presiden dari tahun 2014 dan 2019 terkait upaya pemberantasan korupsi. Apalagi revisi ini tentu tidak akan terus berlanjut jika memang Presiden menolaknya. Upaya yang seharusnya dilakukan adalah menguatkan pemberantasan korupsi justru malah justru melemahkan lembaga pemberantas korupsi.

Hal ini seharusnya membuka mata kita bahwa di sistem demokrasi aturan dibuat oleh manusia sesuai dengan hawa nafsunya. Suara rakyat yang katanya diperhatikan nyatanya juga tidak. DPR yang seharusnya mewakili suara rakyat malah tak peduli dengan gelombang penolakan. Pembahasan tetap saja dilakukan.

Kemudian terkait korupsi juga seharusnya makin menyadarkan kita juga. Dalam sistem demokrasi mustahil tak akan ada korupsi. Mekanisme politik yang membuat korupsi itu menggurita. Jika ada lembaga independen saja korupsi masih di mana-mana, apalagi jika lembaga tersebut diamputasi. Akan makin membuka lebar korupsi di negeri ini.

Sungguh harapan kita tak bisa lagi disandarkan pada manusia. Suara kita tak akan ada harganya dibanding tampuk kekuasaaan dan kepentingan pribadi atau golongan di sistem demokrasi sekuler. Hanya kepada Sang Pencipta lah kita berharap. Mau sampai kapan menggunakan aturan buatan manusia yang nyata-nyata membuat derita? Hanya dengan menggunakan aturan dari Nya lah keadilan juga kesejahteraan hakiki itu akan ada.

(Novita Fauziyah adalah guru di Bogor, Jawa Barat, berasal dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)