![]() |
|
|
Tayangan televisi ditengarai telah mempengaruhi munculnya perilaku negatif di kalangan anak-anak, khususnya anak-anak Sekolah Dasar (SD). Hampir seluruh sajian acara di televisi disuguhkan untuk konsumsi penonton dewasa. Sementara acara untuk anak-anak boleh dibilang sangat minim atau sedikit.
Selain itu, sebagian besar jam tayang televisi (terutama TV swasta) menyajikan tayangan-tayangan yang bersifat informasi dan hiburan (infotainment). Bahkan dapat dikatakan wajah tayangan televisi kita, didominasi oleh sinetron dan informasi selebriti.
Ironinya, alur cerita yang ada belum beranjak dari isu perselingkuhan, percintaan, dan kekerasan. Bahkan sekarang sedang hangat-hangatnya alur cerita “Manusia setengah hewan” yang mengikuti alur cerita film Barat. Situasi ini semakin diperparah oleh jam tayang yang “memaksa” anak-anak ikut menonton.
Bila dicermati lebih mendalam, ternyata dampak tayangan sinetron “saduran” tidak hanya mempengaruhi pola tingkah laku, tetapi juga mempengaruhi pola tutur kata anak-anak SD. Ungkapan seperti mengucapkan suara auman hewan, diucapkan seorang anak manakala mereka sedang bermain dengan teman sepermainannya, bahkan saat mereka masih dalam lingkup sekolah.
Contoh lain, seorang anak juga sering mengatakan kata-kata yang mengandung unsur kata-kata negatif seperti “bodoh”, “OMG hallo”, “aku benci kamu”, atau “emangnya gue pikirin”
Tayangan televisi yang telah meresahkan masyarakat, khususnya bagi para orang tua memang membutuhkan dimensi kepedulian moral bagi pengelola atau lembaga penyiaran. Meskipun secara filosopis idealisme (dimensi idiil) menjadi ciri hakiki pers tetapi realitas menunjukkan bahwa aspek komersial lebih menggejala.
Pengelola penyiaran televisi masih terjebak pada upaya menayangkan siaran-siarannya yang mengarah pada unsur hiburan dan informasi semata (infotainment). Sementara televisi sebagai media massa memiliki fungsi di bidang pendidikan dan kontrol/perekat sosial.
Agaknya pemahaman bahwa tayangan televisi sebagai media yang mampu menimbulkan atau mempengaruhi perilaku pemirsanya belum seutuhnya disadari. Berdasarkan kajian psikologi komunikasi tayangan-tayangan televisi menawarkan atau menyajikan pesan-pesan yang akan menstimulus organisme penontonnya terutama anak-anak.
Stimulus pesan-pesan televisi ini sebelum menimbulkan respon akan mengendap di organisme penontonnya setelah melalui tahapan perhatian, pengertian, dan penerimaan. Bagi penonton dewasa tentu efek negatif yang ditimbulkan tidak begitu besar dibandingkan penonton anak-anak sekolah dasar atau remaja.
Penonton dewasa memiliki tingkat filterisasi yang baik dibandingkan anak-anak sekolah dasar. Penonton dewasa bukanlah audience pasif. Artinya, organisme penonton dewasa sebagaimana konsepsi teori S-O-R (Stimulus Organisme Respon) yang telah dikembangkan Hovland lebih bersifat aktif dibandingkan penonton anak-anak.
Penonton dewasa telah mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk sementara penonton anak-anak sekolah dasar belum mampu mengkritisi atau memfilter pesan tayangan televisi yang masuk ke otaknya.
Pada anak-anak komponen organisme (daya pikir) masih labil. Artinya, pesan-pesan tayangan televisi memberikan memori yang cepat atau lambat mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan. Dengan kata lain sebagaimana karakter anak-anak, mereka akan meniru apa yang telah dilihatnya di televisi. Berdasarkan kajian, saat ini 6-7 jam televisi membombardir tayangan-tayangannya kepada anak-anak.
Dapat dibayangkan, bagaimana pesan-pesan televisi “meracuni” pikiran anak-anak usia sekolah dasar yang secara psikologis masih pada tahap mencari jati diri dengan sifat ingin tahunya yang begitu besar. Melihat kondisi yang ada dapat disebutkan bahwa 1/3 hari anak-anak dihabiskan dengan “berpetualang” dengan tayangan televisi. Bahkan tidak salah jika disebutkan tayangan televisi telah menjadi “orang tua” bagi anak-anak.
Celakanya, saat menonton tayangan sinetron “saduran” tak jarang orang tua (terutama kaum ibu) larut dalam alur cerita yang disajikan. Saat menonton sinetron misalnya, orang tua yang semestinya harus menjadi komentator dalam mendampingi anaknya menonton sinetron justru terhipnosis oleh adegan-adegan yang ditonton. Akibatnya, selain tak kuasa melarang anak untuk menonton TV, tak jarang orang tua hanya duduk diam menikmati acara tanpa berkomunikasi dengan anaknya.
Meskipun sulit untuk melarang anak untuk menonton sinetron, setidaknya kesadaran akan dampak negatif tayangan sinetron meski disikapi secara arif. Orang tua mesti mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi. Beri Komentar atau penjelasan kepada anak saat ada adegan atau informasi yang tidak patut dicontoh oleh anak. Bila perlu masyarakat dapat melakukan boikot terhadap tayangan-tayangan yang kurang mendidik.
Setidaknya masyarakat harus secara aktif ikut mengawasi isi siaran TV khususnya tayangan sinetron yang menyadur alur cerita dari luar negeri yang secara logika tidak masuk akal. Laporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat kalau menyaksikan program acara TV yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sementara itu, kita berharap pihak pengelola TV berkenan menyajikan tayangan-tayangan sinetron yang berkualitas. Meskipun kita menyadari bahwa TV harus survive. Tetapi hal ini tidak serta merta dengan menayangkan tayangan-tayangan yang kurang bermutu. Saatnya acara untuk anak-anak menjadi perhatian khusus. Sebab, anak-anak adalah korban tayangan-tayangan TV.
Anak-anak belum memiliki kemampuan untuk mencerna pesan tayangan sinetron yang diterimanya. Artinya, anak-anak akan “menelan mentah-mentah” semua informasi yang diperolehnya. Semua yang ditontonnya dianggap sebagai sesuatu yang benar.
Di sinilah kepedulian moral dan tanggung jawab sosial pengelola tayangan sinetron dalam menyajikan tontonan yang sehat dan cerdas dipertaruhkan. Sebab, kreativitas yang merupakan kunci pengembangan sinetron tidak identik dengan penyajian tayangan-tayangan yang berdampak negatif terhadap anak.
(Imeilza Redasyafa Insani adalah Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Cirebon, Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Semester 1. Tinggal di Desa Koreak, Kecamatan Cigandamekar, Kabupaten Kuningan)