Sastra Tegalan berkembang pesat tak hanya terasa di Kota Tegal, tetapi juga merambah wilayah sekitarnya....
PanturaNews (Tegal) - Kelapa hijau yang diletakkan di tengah panggung menjadi simbol utama dalam peringatan Milad ke-31 Sastra Tegalan. Secara filosofis, kelapa hijau melambangkan kesucian, harapan akan kehidupan baru, serta kekuatan.
Di usia ke-31 ini, simbol tersebut seakan menjadi penanda proses negosiasi dan penyerahan diri Sastra Tegalan menuju perjalanan baru yang lebih matang.
Acara dimulai dengan lantunan lagu Balo-Balo dari kelompok Al Barokah Slerok, yang mengalun riang menyambut para tamu undangan. Sebelum itu, para anak yatim putra dan putri yang bermukim di Yayasan Santo Aji menerima santunan dari Komunitas Sastra Tegalan (KST).
Santunan kepada anak yatim diserahkan oleh Moh. Ayyub, salah satu pelaku Sastra Tegalan yang selama ini konsisten mendampingi berbagai kegiatan literasi di Tegal.
Milad ke-31 Sastra Tegalan ini digelar pada Rabu Pahing, 26 November 2025, pukul 19.30 WIB di Kedai Kopi PDKT, halaman Rumah Quran Santo Aji, Jl. Arjuna, Slerok, Tegal. Suasana hangat penuh kebersamaan terasa sejak awal acara.
Dalam sambutannya, Moh. Ayyub menekankan pentingnya melestarikan bahasa ibu. Ia menceritakan pengalamannya saat mengikuti pertemuan para penyair di Malaysia, di mana hanya buku berbahasa Tegal lah yang menggunakan bahasa daerah secara dominan.
Sebagai bentuk konsistensinya, Ayyub membacakan satu puisinya berjudul Soto Tengkleng, yang disambut antusias oleh para hadirin.
Nurochman Sudibyo yang hadir bersama penyair Dyah Setyawati bertindak sebagai pembawa acara ikut menegaskan bahwa Sastra Tegalan berkembang pesat sejak diprakarsai oleh Lanang Setiawan. Perkembangan itu tak hanya terasa di Kota Tegal, tetapi juga merambah wilayah sekitarnya.
H. Muharso, Ketua Tim Penerjemah Al-Quran dalam Bahasa Tegal, turut hadir memberi warna tersendiri pada acara. Ia menegaskan bahwa penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Tegal merupakan bagian penting dalam menjaga keberlanjutan bahasa ibu. Pekerjaan besar itu diharapkan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang.
Usia ke-31 Sastra Tegalan juga dimaknai sebagai “tiga yang menyatu”, yakni penyatuan manusia dengan Sang Pencipta. Ustad Tsany, Pembina Yayasan Santo Aji, memperkuat makna tersebut dengan membacakan puisi kolaboratif berbahasa Arab dan Tegal:
“Jemelong
Urip mung dolanan
Gegoyonan
Menang kalah kudu tetep kélingan.
La… Illa… Haillallah.”
Di tengah rangkaian acara, kelompok Balo-Balo kembali tampil disela pembacaan naskah berbahasa Tegalan oleh Iwang Nirwana berjudul "Gedong Tuwa, Bangsa sing Tembenglar". Kutipan satir yang dibacakan menggugah kesadaran para peserta tentang pentingnya merawat sejarah dan warisan arsitektur:
“…negara kié bangsa agung, jaréné.
Tapi ngrawat bangunan tuwa baé beléh ngangkir.
Bangga maring sejarah, tapi warisan arsitéktur agung dijor klowor…”
Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal, Suriali Andi Kustomo, memberikan kesaksian mengenai awal perjalanan Sastra Tegalan dan menyebut Lanang Setiawan sebagai pelopornya sejak 1993, lewat terbitnya antologi Puisi Tembangan Banyak, terjemahan dari Nyanyian Angsa karya WS Rendra.
Menurut Andi, konsistensi Lanang dalam melestarikan bahasa Tegal sudah sulit dibendung, dan kini karya-karya berbahasa Tegal telah dinikmati secara luas.
Sebagai penutup, puisi "Kaping Telungpuluh Siji" karya Apas Khafasy dibacakan dengan gaya khasnya yang selalu memikat. Sementara itu, Atmo Tan Sidik menutup seluruh rangkaian acara dengan pesan sederhana namun sarat makna:
“Dakwah kué nyiru bubur,
Aja lirén dadi wong apik.”
Milad ke-31 Sastra Tegalan menjadi momentum berharga bagi pegiat bahasa Tegal, para sastrawan, dan masyarakat literasi. Di usia yang matang ini, Sastra Tegalan terus menunjukkan bahwa bahasa ibu bukan hanya perlu dirawat, tetapi juga layak dirayakan sebagai identitas budaya yang hidup.