Selasa, 16/07/2024, 10:15:23
Kehidupan Masyarakat Desa Adat Kampung Urug Lebak: Tradisi yang Bertahan di Tengah Perubahan Zaman
Oleh: Agung Nugraha & Tim PKM-RSH IPB
.

Mahasiswa Tim PKM-RSH IPB University 2024 wawancara dengan sesepuh Desa Adat Kampung Urug Lebak. (Foto: Dok Mahasiswa/Istimewa)

DI tengah arus modernisasi yang kian deras, masih ada komunitas yang mempertahankan kearifan lokal dan tradisi leluhur mereka. Salah satunya adalah masyarakat Desa Adat di Kampung Urug Lebak, yang menyimpan banyak keunikan dalam tata kehidupan sosial dan budayanya.

Kampung Adat Kampung Urug terdiri dari tiga wilayah utama - Lebak (bawah), Tengah, dan Atas. Namun, pemerintah hanya mengakui Kampung Urug Lebak (bawah) sebagai pusat desa adat. Kampung ini masuk Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Populasi desa ini mencapai sekitar 500 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 2-3 RW. Mayoritas penduduknya bermukim di wilayah lembah dengan sungai yang ada di tanjakan sebagai batas alami antara Urug Bawah dan Urug Tengah.

Mata pencaharian utama masyarakat Desa Adat Lebak adalah bertani. Namun, karena lahan pertanian yang terbatas dan hanya bisa ditanami padi setahun sekali, banyak warga yang mencari penghasilan tambahan dengan berdagang, terutama menjual ikan basah di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Cianjur, Bekasi, Tangerang, dan Depok.

Fenomena urbanisasi juga tak terelakkan di desa ini. Sekitar 30-40% penduduk, terutama anak muda, memilih mengadu nasib di kota. Mereka biasanya pulang ke desa saat musim panen atau ada acara adat penting. Para perantau ini umumnya berjualan ikan basah atau membuka usaha martabak di kota.

Penelusuran Tim PKM-RSH IPB University 2024 mencatat, ikatan anak muda yang merantau ke kota dengan kampung halaman tetap kuat. Ada lima ritual adat yang digelar setiap tahun, di mana para perantau wajib pulang untuk berpartisipasi:

-1. Menyambut bulan Muharram, -2. Pesta panen, -3. Maulid Nabi (Muludan), -4. Ruwahan sebulan sebelum puasa Ramadhan, -5. Sedekah bumi sebelum menanam padi.

Ritual-ritual ini berfungsi untuk menjaga kohesi sosial dan mengingatkan warga akan akar budaya mereka. Selain itu, ada juga keterkaitan dengan aturan adat yang harus dijalankan.

Sistem pertanian di Desa Adat Kampung Urug Lebak sangat unik dan sarat makna. Mereka hanya menanam padi lokal sekali setahun, dengan masa tanam 6 bulan. Praktek ini diyakini dapat menjaga kesuburan tanah dan menghindari serangan hama. Bahkan waktu menanam pun ditentukan berdasarkan penampakan rasi bintang tertentu yang mereka sebut "kidang" (dalam astronomi dikenal sebagai rasi Orion).

Kepemilikan lahan pertanian menjadi tolok ukur status sosial di desa ini. Mereka menggunakan sistem pengukuran tradisional bernama "gedeng". Satu gedeng setara dengan 1250 m2. Berdasarkan luas lahannya, petani dibagi menjadi tiga kategori:

-1. Kategori atas: memiliki lahan lebih dari 8 gedeng (1 hektar), -2. Kategori menengah: memiliki lahan 4-8 gedeng (0,5 - 1 hektar), -3. Kategori bawah: memiliki lahan 2-4 gedeng (0,25 - 0,5 hektar)

Mayoritas petani (sekitar 70%) masuk dalam kategori bawah. Hanya sedikit yang masuk kategori atas, dengan lahan terluas mencapai 4,5 hektar. Meski demikian, hampir semua warga memiliki lahan pertanian sendiri, meski kecil. Ini karena ada tradisi mewariskan tanah kepada anak-cucu.

Selain padi, sebagian warga juga menanam sayuran, cabai, pisang, atau memelihara kambing sebagai tambahan penghasilan. Namun, hasil panen padi tidak boleh dijual keluar desa sesuai amanat adat. Padi hanya untuk konsumsi sendiri atau dibagikan kepada warga yang membutuhkan.

Sistem pengukuran hasil panen juga unik. Mereka menggunakan istilah "pocong", "ranggong", dan "gedeng". Satu gedeng terdiri dari tiga pocong, dengan berat sekitar 7-7,5 kg beras. Cara mengikat padi pun memiliki teknik khusus yang diturunkan secara turun-temurun.

Meski hidup sederhana, masyarakat Desa Adat Lebak memegang teguh nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan. Mereka saling membantu dalam mengolah lahan pertanian. Bagi yang tidak memiliki cukup lahan, bisa bekerja sebagai buruh tani. Namun, hampir tidak ada warga yang benar-benar tidak memiliki tanah sama sekali.

Keunikan lain dari desa ini adalah larangan menanam varietas padi non-lokal. Mereka percaya bahwa menanam padi dari luar akan membawa bencana. Ini merupakan bagian dari kearifan lokal yang telah terbukti menjaga kelestarian lingkungan selama berabad-abad.

Desa Adat Kampung Urug Lebak juga memiliki sistem penanggalan sendiri untuk menentukan waktu tanam yang tepat. Mereka mengamati munculnya rasi bintang tertentu sebagai penanda musim. Kearifan ini menunjukkan bahwa nenek moyang mereka telah memiliki pengetahuan astronomi yang mumpuni.

Meski menghadapi tantangan modernisasi, masyarakat Desa Adat Kampung Urug Lebak tetap berusaha melestarikan warisan budaya mereka. Ritual-ritual adat yang rutin digelar menjadi sarana untuk mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi muda. Para perantau yang pulang kampung dalam acara-acara ini juga turut berperan dalam menjaga keberlangsungan tradisi.

Keberadaan Desa Adat Lebak menjadi pengingat bahwa di tengah kemajuan teknologi dan gaya hidup modern, masih ada komunitas yang setia menjaga warisan leluhur. Kearifan lokal mereka dalam mengelola alam dan kehidupan sosial bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Tantangan ke depan adalah bagaimana mempertahankan eksistensi desa adat ini di tengah arus globalisasi. Diperlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk menjaga kelestarian budaya unik ini. Pada saat yang sama, perlu ada adaptasi agar generasi muda tetap tertarik untuk melestarikan warisan budaya mereka tanpa merasa tertinggal zaman.

Desa Adat Kampung Urug Lebak adalah potret Indonesia yang beragam. Keunikannya memperkaya mozaik budaya nusantara. Mari bersama-sama menjaga dan menghargai kekayaan budaya ini sebagai bagian dari identitas bangsa kita.

Tim PKM-RSH IPB University 2024 beranggotakan Annisa Nurul Hasantie (Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia), Vina Novianti (Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian), Muhamad Fadili (Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen), Agung Nugraha (Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen), dan Yuswikha Astafirdha Fisyhuri (Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen). Ibu Heru Purwandari, S.P., M.Si.

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita