Pengantar: Pelaksanaan Pemilu Presiden-Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif tinggal menunggu hitungan jam lagi. Sorak-sorai kampanye lamat-lamat musnah tertelan waktu, meninggalkan beribu bayangan yang hingar bingar, penuh canda tawa, dan juga deraian air mata. Kegiatan pemilu senantiasa meninggalkan banyak kesan, baik yang menyenangkan maupun menyedihkan, terlebih bagi para calon yang ikut berkontestasi dalam hajatan demokrasi 5 tahunan ini.
Wahyu: Dalam tradisi Jawa, siapa pun sosok pemimpin yang terpilih sudah ada tanda-tandanya, tidak ngasal. Karena dalam tradisi Jawa terdapat keyakian bahwa pemimpin adalah raja, yang dalam dirinya harus bisa menampung seluruh cita-cita luhur seluruh warga (momot), dan menjadi perpanjangan tangan dari Tuhan Yang Mahakuasa (khalifatullah fil ardh).
Tanda-tanda itu kasat mata (terlihat) maupun yang tak kasat mata (ghaib) dapat dirasakan oleh hampir seluruh rakyat, terlebih oleh orang-orang yang waskita dalam membaca masa depan, semua aspek mendukung seseorang kelak terpilih menjadi pemenang dalam kontestasi akan terasa auranya sebelum pengumuman hasil pipres-pileg dilaksanakan.
Marilah kita simak sebuah pelajaran dalam cerita wayang yang adiluhung, lakon Wahyu Cakraningrat. Episode ini mengemukakan bahwa seorang pemimpin itu haruslah sosok yang kompeten dalam perjalanan hidup, tidak cacat secara etik dan moral, matang dari segi kepemimpinan dan juga pengambilan keputusan. Sosok pemenang dalam kisah perebutan pulung kerajaan ini adalah sosok yang ketika hidup tidak bergelimang kenikmatan dan fasilitas, melainkan sosok biasa yang hidup penuh dengan keprihatinan-kesahajaan, memegang amanat, menjunjung tinggi sportivitas dan etika serta kompetensi pribadi. Dalam lakon ini, diceritakan bahwa siapa pun yang berhasil meraih pulung keprabon Wahyu Cakraningrat, maka dirinya akan kekal berkuasa dan akan menurunkan raja-raja penguasa dunia yang disegani.
Terdapat 3 sosok yang berebut pulung ratu/raja atau wahyu keprabon dalam lakon Wahyu Cakraningrat ini, yaitu Raden Lesmana Mandrakumara putra mahkota Kerajaan Astina, Raden Samba putra raja Dwarawati, dan Angkawijaya (Abimanyu) satria Plangkawati putra panengah Pandawa, Arjuna. Ketiganya bersaing untuk merebutkan wahyu yang sangat menentukan masa depan bangsa dan anak keturunannya kelak. Disebutkan bahwa barangsiapa yang dapat meraih Wahyu Cakraningrat, maka dirinya akan menjadi cikal bakal raja yang akan menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Wahyu Cakraningrat berada di tengah hutan Gangga Warayang yang lebat gung liwang-liwung yang hanya didapat dengan cara bertapa, berprihatin, dan mawas diri.
Walhasil, dari ketiga kandidat calon penguasa tersebut, Angkawijaya alias Abimanyulah yang berhasil mendapatkan wahyu tersebut. Angkawijaya mendapatkan wahyu tersebut dengan mengoptimalisasikan perjuangan dan keterbatasan segala sumber daya yang dimilikinya, penuh dengan keprihatinan, mengalahkan berbagai godaan nafsu dunia yang membelitnya. Pulung ratu/raja hanya dapat masuk manjing ajur-ajer (menyatu) ke badan pribadi yang suka mesubrata, berprihatin, menyatukan dan menyelaraskan jagad agung ‘alam semesta’ dan jagad alit ‘diri pribadi’, bukan pribadi yang suka mengumbar syahwat (hedonism). Berbeda dengan 2 kandidat lainnya yang merupakan putra raja besar yang dimanja dengan fasilitas negara, Raden Lesmana dari Kerajaan Astina dan Raden Samba dari Dwarawati berjuang dengan dukungan fasilitas kerajaan yang lengkap, ditemani para patih dan stok logistik yang berlimpah.
Dari kisah di atas, dapatlah diambil benang merah bahwa masalah pemimpin dan kepemimpinan bukanlah masalah sepele, harus di-manage dengan baik supaya tidak menghasilkan pemimpin yang merusak akibat kepemimpinannya yang zalim, yang tidak mengindahkan etika, norma-norma, dan adat istiadat yang berlaku. Pemimpin yang tidak memiliki visi dan misi yang brilian akan menjadi momok bagi perkembangan dan kemajuan bangsa, dan kebrilianan pemikiran dari sosok terpilih merupakan hasil proses yang panjang dari internalisasi nilai-nilai, bukan instan. Kecakapan jiwa (softskill) bersinergi dengan kemampuan fisiknya yang prima (hardskill).
Ancaman: Dalam kenyataannya, pada masa sekarang idealisme Jawa tidak menjadi referensi dalam berdemokrasi, terlebih dalam pemilihan pemimpin, baik pada pilpres (pemilihan presiden-wakil presiden) maupun pileg (pemilihan legislatif). Jenis kelamin demokrasi di negeri ini pun patut dipertanyakan eksistensinya, apakah model demokrasi Pancasila, demokrasi suara langsung, ataukah demokrasi yang lain? Yang jelas, demokrasi yang seperti sekarang dipertontokan adalah demokrasi yang tidak mencerminkan demokrasi Pancasila yang mendasarkan pada musyawarah mufakat.
Lalu dengan model demokrasi apa negeri ini akan dibangun selanjutnya? Wallahu ‘alam, para pakar politik yang berjiwa negarawan, dan segenap unsur bangsa yang peduli dengan nasib demokrasi di negeri +62 ini perlu berembug menentukan format yang lebih efektif dan efisien, tidak seperti demokrasi sekarang yang banyak modal tapi minus hasil yang membanggakan. Berapa triliun dana negara dikeluarkan untuk menyelenggarakan pemilu yang hasilnya tidak memberikan jaminan kualitas demokrasi? Mestinya pemilu yang menelan biaya mahal ini dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas, bukan pemimpin-pemimpin yang sendika dhawuh (manutan), miskin kompetensi dan idealisme, pemimpin yang mudah didikte oleh kepentingan segelintir orang (oligarki). Inilah ancaman demokrasi bangsa ini sesungguhnya yang patut direnungkan.
Penutup: Wahyu Cakraningrat adalah wahyu kepemimpinan Jawa, berupa pulung yang menunjukkan seseorang itu layak menjadi pemimpin atau tidak. Wahyu ini merupakan perwujudan dari kesatuan dari jagad agung ‘alam semesta’ dan jagad alit ‘pribadi’ yang nyawiji, bersinergi memakmurkan warganya pada diri calon terpilih. Tidak mungkin seorang pemimpin (raja) terpilih justru menjungkirbalikan logika waras, tidak mungkin pemimpin terpilih cacat hukum dan cacat moral, kecuali memang pemilihnya juga masyarakat yang tidak waras dan cacat moral.