DI penghujung tahun 2010 silam, seorang manusia Indonesia bernama Nadiem Makarim berinisiatif mendirikan sebuah layanan transportasi ojek online di Jakarta berbasis call center yang menghubungkan penumpang dan pengemudi.
Inisiatif ini tentu sangat relevan dengan keadaan Jakarta yang terkenal dengan kemacetan. Oleh karenanya, layanan ojek online tersebut secara bertahap mengalami perkembangan pesat. Dari hanya menggunakan layanan call center dengan 20 pengemudi, pada Januari 2015 Nadiem Makarim secara resmi mentransformasi layanan tersebut menjadi aplikasi online bernama GoJek.
Transformasi yang dilakukan tentu menjadi buah bibir banyak orang, mengingat saat itu hanya GoJek lah satu-satunya layanan ojek online asli Indonesia dan mampu bersaing dengan perusahaan besar seperti Uber dan Grab.
Sejak saat itu pula, nama Nadiem Makarim sebagai inisiator GoJek melejit ke seluruh penjuru karena dianggap memiliki prestasi yang brilian dalam melakukan transformasi teknologi yang senada dengan kebutuhan zaman, bahkan GoJek mampu berekspansi ke luar negeri dan menjadi kompetitor yang kuat bagi platform transportasi online lainnya.
Sederet keberhasilan dan prestasi yang dimiliki GoJek semakin mengharumkan nama Nadiem Makarim selaku pendiri sekaligus CEO dari perusahaan GoJek itu sendiri. Dari rentetan keberhasilan tersebut, nama Nadiem masuk ke dalam bursa menteri.
Sebagaimana kita ketahui, mantan CEO GoJek ini kemudian diangkat menjadi pembantu Presiden pada masa pemerintahan Indonesia maju jilid II sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset & Teknologi Republik Indonesia. Sebagai mantan pimpinan perusahaan ojek online, maka barang tentu mengelola sebuah kementerian juga tidak lepas dari nuansa mengelola perusahaan yakni prinsip untung dan rugi.
Perlu diketahui, rentetan prestasi atau apapun sebutannya terhadap Nadiem Makarim selaku CEO GoJek ternyata tidak otomatis membawa perubahan yang signifikan bagi pendidikan di Indonesia. Berdasarkan catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan misalnya, ada empat temuan kritis yang menjadi problem bagi pendidikan Indonesia.
-Pertama, minimnya transparansi dan akuntabilitas anggaran di tubuh Kemenristekdikti. Sekalipun kementerian ini mendapat peringkat tiga terbaik sebagai pelaksana anggaran pada tahun 2021, tapi faktanya tidak demikian.
Banyak informasi terkait anggaran yang tidak dipublikasikan secara rinci, misalnya program Merdeka Belajar, rincian dan realisasinya tidak jelas. Padahal, Kemenristekdikti merupakan pemegang anggaran terbesar kedua setelah anggaran transfer daerah.
-Kedua, catatan kritis program Merdeka Belajar. Program tersebut menggambarkan pada publik bahwa sesungguhnya tidak disusun melalui proses perencanaan yang matang. Secara garis besar, dalam program Merdeka Belajar total ada sebanyak tujuh belas program.
Dari total program tersebut, koalisi menemukan bahwa dalam praktiknya sarat dengan masalah. Sebagai salah satu contoh, materi untuk program guru penggerak tidak kontekstual dan bahkan para trainernya masih belum memahami modul.
-Ketiga, Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) terjebak pada privatisasi dan komersialisasi. Hal ini tergambar dar rancangan yang ada sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 yang menyebutkan, bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sementara, dalam RUU Sisdiknas tanggung jawab pembiayaan ini juga wajib dibebankan pada orang tua, sedangkan pemerintah hanya menanggung pembiayaan dasar.
-Keempat, program wajib belajar 12 tahun masih sebatas pencitraan. Kebijakan ini masih belum dianggap sebagai sesuatu yang serius, meski masuk di dalam RPJMN 2020-2024 namun kebijakan ini tidak ada di dalam program Merdeka Belajar.
Selain itu, pemerintah provinsi dan kab/kota selaku eksekutor pun tidak mendukung penuh. Hal ini bisa ditilik dari alokasi APBD murni (di luar dana transfer pusat) untuk sektor pendidikan di banyak daerah masih kurang dari 20%.
Seluruh catatan di atas, menyiratkan secara eksplisit bahkan bahwa nuansa untung rugi dalam membangun pendidikan nasional sangat kentara. Politik anggaran pendidikan masih dianggap sebagai sebuah biaya bukan sebuah kewajiban untuk pemenuhan hak-hak warga negara. Sehingga, apabila situasi ini tetap tidak berubah, impian Indonesia Emas 2045 justru semakin jauh dari kenyataan.
Selain persoalan yang telah diuraikan di atas terkait dengan pendidikan dasar dan menengah, nampaknya Kemenristekdikti juga tidak serius dalam membangun pendidikan tinggi di Indonesia. Baru-baru ini kita dihebohkan dengan berita di salah satu perguruan tinggi yang mahasiswanya melakukan pembayaran kuliah melalui jasa pinjaman online (pinjol) bahkan hal itu ditetapkan sebagai kebijakan Rektor.
Fenomena tersebut, tentu harus menjadi catatan kritis. Bagaimana tidak, terhadap kebijakan tersebut belum ada respon apapun dari pemerintah terkhusus Kemenristekdikti. Padahal, di tengah situasi resesi yang terjadi saat ini, kehadiran negara melalui pemerintah adalah kewajiban. Apalagi kita juga ketahui, selama ini Pinjol selalu menjadi solusi sekaligus momok di masyarakat yang kian menjerat.
Ketika di belahan negara lain, pemerintahnya peduli dengan ancaman dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh transformasi digitial sehingga terus merumuskan langkah-langkah kebijakan, di Indonesia situasi itu seakan seperti angin lalu.
Padahal, dampak negatif yang dimaksud juga menyerang nadi dunia pendidkan Indonesia. Terutama pada pendidikan tinggi, selain pinjol yang sudah disinggung, judi online, prostitusi online, trading bodong, hoaks dan lain-lain juga menjadi tambahan daftar masalah yang mengintai para peserta didik kita.
Maka atas fenomena-fenomena tersebut, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menjadi persoalan di atas sebagai prioritas. Dalam hal ini tentu Kemenristekdikti harus segera melakukan langkah-langkah konkret agar segudang masalah yang ada tidak mengakar.
Apabila Nadiem Makarim selaku menteri yang dianggap banyak memiliki prestasi akan tetapi tidak mampu menangani persoalan, sebaiknya mundur atau diberhentikan dengan tidak hormat.