Kamis, 28/07/2022, 20:34:35
Analisis Implementasi Kebijakan BLT-DD Sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Masa Pendemi
Oleh: Nafirotul Karima

LEBIH dari dua tahun pandemi COVID-19 melanda dunia. Dikenal dengan virus corona, SARS-CoV-2 yang kali pertama muncul di akhir tahun 2019 di kota Wuhan, China, terus menyebar ke penjuru dunia sepanjang tahun 2020. Penyakit yang menyerang organ pernapasan

tersebut setidaknya membuat lebih dari 246 juta orang diseluruh dunia terinfeksi virus ini (Worldometers, 2021). Di Indonesia, pandemi telah memberikan dampak signifikan dalam semua sektor kehidupan bangsa. Mulai dari sektor kesehatan, sektor ekonomi, sektor pendidikan, sektor keagamaan, dan sektor lain terkena imbasnya.

Di sektor ekonomi, dampak dari penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan pada tanggal 31 Maret 2020 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang semula berlaku pada tanggal 3 hingga 20 Juli 2021 nyatanya dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan sehingga berpotensi meningkatkan jumlah masyarakat miskin. Berdasarkan konferensi pers Menteri Keuangan mengatakan tidak kurang dari 1,5 juta (1,24 juta pekerja formal dan 265 ribu pekerja informal) pekerja kehilangan pekerjaan. Dari jumlah tersebut setidaknya sebesar 90 persen pekerja dirumahkan dan 10 persen pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (Nababan 2020).

Dalam rangka penanganan dan antisipasi dampak pandemi COVID-19 tersebut, pemerintah telah mengambil beberapa langkah kebijakan dalam menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan menjadi undang-undang yaitu melalui pertama, Refocusing Anggaran untuk percepatan penanganan COVID-19. Kedua, Realokasi Cadangan Belanja untuk mendukung pelaksanaan Gugus Tugas COVID-19. Ketiga, penghematan dan meningkatkan efisiensi belanja untuk mendukung proses penanganan dan dampak COVID-19. Refocusing sendiri dimaksudkan untuk menunda atau membatalkan kegiatan yang dianggap tidak relevan atau tidak dalam koridor prioritas yang tidak dapat dilakukan pada periode darurat untuk direalokasi.

Pada tingkat pemerintahan desa, pelaksanaan refocusing pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dianggap sangat mendesak karena merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi dampak kemiskinan warga masyarakat desa di masa pandemi sebab menurut daerah tempat tinggal, angka kemiskinan di perdesaan mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu dari 12,82 persen menjadi 13,20 persen (BPS, 2020). Padahal menurut tujuan 1 target Sustainable Development Goals adalah menurunkan tingkat kemiskinan atau mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya dimanapun pada tahun 2030 (Zero Poverty).

Dalam rangka mengantisipasi dampak pandemi bahwasannya Pemerintah telah meluncurkan beberapa kebijakan terkait Pemulihan Ekonomi Nasional seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) dan juga bantuan kartu prakerja, dan juga Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang berasal dari anggaran Dana Desa. 

Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana Desa bahwasannya penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan dan dituangkan dalam rencana kerja Pemerintah Desa. Prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud termasuk kegiatan dalam rangka menanggulangi dampak ekonomi atas pandemi COVID-19 antara lain berupa kegiatan penanganan pandemi COVID-19 dan jaring Pengaman Sosial di desa sehingga Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) ini merupakan salah satu dari beberapa bentuk bantuan Jaring Pengaman Sosial yang disalurkan kepada masyarakat desa sebagai upaya meringankan beban ekonomi pada masa pandemi COVID-19.

Pada beberapa desa, implementasi dan pengelolaan dana desa nyatanya masih terkendala mulai dari proses penyaluran, kelembagaan, pelaksanaan, sasaran penggunaan dan kesiapan pelaksanaan oleh Pemerintah Desa. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang disalurkan setiap bulan hanya digunakan untuk tambahan kebutuhan sehari-hari sehingga dinilai kurang efektif dalam mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pada beberapa desa juga ditemukan kegiatan penyaluran BLT yang tidak tepat sasaran (Afriyanti, 2020), kurangnya keterbukaan informasi, pengaturan mekanisme pengawasan yang jelas, dan tidak adanya kewenangan pemerintah desa dalam penentuan besaran atau bentuk bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa (Suari, 2021).

Dalam prakteknya, implementasi kebijakan sosial tidak terkecuali Bantuan Langsung Tunai Dana Desa ini masih mengalami kompleksitas, terlebih ketika dihadapkan pada situasi pandemi (Perdana dan Sunandar, 2020). Beberapa persoalan terkait kompleksitas kebijakan tersebut antara lain adalah pertama, terkait regulasi penganggaran. Prosedur penganggaran yang dimaksud adalah tahapan dan ketentuan yang harus dilaksanakan dalam pencairan program bantuan sosial. Perancanaan penganggaran harus mengikuti berbagai prosedur dengan proses pengesahan berjenjang. Prosedur standar ini membutuhkan waktu jika mengikuti ketentuan dalam kondisi “normal”. Jika merujuk situasi pada saat pandemi, skema penyusunan dan pengesahan penganggaran tersebut belum merujuk dalam kondisi kedaruratan. Selain prosesnya yang masih bertingkat dan birokratis, problem lainnya adalah adanya fragmentasi dan tumpang tindih peraturan kementerian seperti Kemensos, Kemenkeu, dan Kemendes yang menyulitkan sebab menurut daerah tempat tinggal, angka kemiskinan di perdesaan mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu dari 12,82 persen menjadi 13,20 persen (BPS, 2020). Padahal menurut tujuan 1 target Sustainable Development Goals adalah menurunkan tingkat kemiskinan atau mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya dimanapun pada tahun 2030 (Zero Poverty). 

Dalam rangka mengantisipasi dampak pandemi bahwasannya Pemerintah telah meluncurkan beberapa kebijakan terkait Pemulihan Ekonomi Nasional seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) dan juga bantuan kartu prakerja, dan juga Bantuan Langsung Tunai yang berasal dari anggaran Dana Desa. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana Desa bahwasannya penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan dan dituangkan dalam rencana kerja Pemerintah Desa. Prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud termasuk kegiatan dalam rangka menanggulangi dampak ekonomi atas pandemi COVID-19 antara lain berupa kegiatan penanganan pandemi COVID-19 dan jaring Pengaman Sosial di desa sehingga Bantuan Langsung Tunai Dana Desa ini merupakan salah satu dari beberapa bentuk bantuan Jaring Pengaman Sosial yang disalurkan kepada masyarakat desa sebagai upaya meringankan beban ekonomi pada masa pandemi COVID-19.

Pada beberapa desa, implementasi dan pengelolaan dana desa nyatanya masih terkendala mulai dari proses penyaluran, kelembagaan, pelaksanaan, sasaran penggunaan dan kesiapan pelaksanaan oleh Pemerintah Desa. BLT yang disalurkan setiap bulan hanya digunakan untuk tambahan kebutuhan sehari-hari sehingga dinilai kurang efektif dalam mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pada beberapa desa juga ditemukan kegiatan penyaluran BLT yang tidak tepat sasaran (Afriyanti, 2020), kurangnya keterbukaan informasi, pengaturan mekanisme pengawasan yang jelas, dan tidak adanya kewenangan pemerintah desa dalam penentuan besaran atau bentuk bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa (Suari, 2021).

Dalam prakteknya, implementasi kebijakan sosial tidak terkecuali Bantuan Langsung Tunai Dana Desa ini masih mengalami kompleksitas, terlebih ketika dihadapkan pada situasi pandemi (Perdana dan Sunandar, 2020). Beberapa persoalan terkait kompleksitas kebijakan tersebut antara lain adalah pertama, terkait regulasi penganggaran. Prosedur penganggaran yang dimaksud adalah tahapan dan ketentuan yang harus dilaksanakan dalam pencairan program bantuan sosial. Perancanaan penganggaran harus mengikuti berbagai prosedur dengan proses pengesahan berjenjang. Prosedur standar ini membutuhkan waktu jika mengikuti ketentuan dalam kondisi “normal”. Jika merujuk situasi pada saat pandemi, skema penyusunan dan pengesahan penganggaran tersebut belum merujuk dalam kondisi kedaruratan. Selain prosesnya yang masih bertingkat dan birokratis, problem lainnya adalah adanya fragmentasi dan tumpang tindih peraturan kementerian seperti Kemensos, Kemenkeu, dan Kemendes yang menyulitkan sebab menurut daerah tempat tinggal, angka kemiskinan di perdesaan mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu dari 12,82 persen menjadi 13,20 persen (BPS, 2020). Padahal menurut tujuan 1 target Sustainable Development Goals adalah menurunkan tingkat kemiskinan atau mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya dimanapun pada tahun 2030 (Zero Poverty).

Dalam rangka mengantisipasi dampak pandemi bahwasannya Pemerintah telah meluncurkan beberapa kebijakan terkait Pemulihan Ekonomi Nasional seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) dan juga bantuan kartu prakerja, dan juga Bantuan Langsung Tunai yang berasal dari anggaran Dana Desa. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana Desa bahwasannya penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan dan dituangkan dalam rencana kerja Pemerintah Desa. Prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud termasuk kegiatan dalam rangka menanggulangi dampak ekonomi atas pandemi COVID-19 antara lain berupa kegiatan penanganan pandemi COVID-19 dan jaring Pengaman Sosial di desa sehingga Bantuan Langsung Tunai Dana Desa ini merupakan salah satu dari beberapa bentuk bantuan Jaring Pengaman Sosial yang disalurkan kepada masyarakat desa sebagai upaya meringankan beban ekonomi pada masa pandemi COVID-19.

Pada beberapa desa, implementasi dan pengelolaan dana desa nyatanya masih terkendala mulai dari proses penyaluran, kelembagaan, pelaksanaan, sasaran penggunaan dan kesiapan pelaksanaan oleh Pemerintah Desa. BLT yang disalurkan setiap bulan hanya digunakan untuk tambahan kebutuhan sehari-hari sehingga dinilai kurang efektif dalam mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pada beberapa desa juga ditemukan kegiatan penyaluran BLT yang tidak tepat sasaran (Afriyanti, 2020), kurangnya keterbukaan informasi, pengaturan mekanisme pengawasan yang jelas, dan tidak adanya kewenangan pemerintah desa dalam penentuan besaran atau bentuk bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa (Suari, 2021).

Dalam prakteknya, implementasi kebijakan sosial tidak terkecuali Bantuan Langsung Tunai Dana Desa ini masih mengalami kompleksitas, terlebih ketika dihadapkan pada situasi pandemi (Perdana dan Sunandar, 2020). Beberapa persoalan terkait kompleksitas kebijakan tersebut antara lain adalah pertama, terkait regulasi penganggaran. Prosedur penganggaran yang dimaksud adalah tahapan dan ketentuan yang harus dilaksanakan dalam pencairan program bantuan sosial. Perancanaan penganggaran harus mengikuti berbagai prosedur dengan proses pengesahan berjenjang. Prosedur standar ini membutuhkan waktu jika mengikuti ketentuan dalam kondisi “normal”. Jika merujuk situasi pada saat pandemi, skema penyusunan dan pengesahan penganggaran tersebut belum merujuk dalam kondisi kedaruratan. Selain prosesnya yang masih bertingkat dan birokratis, problem lainnya adalah adanya fragmentasi dan tumpang tindih peraturan kementerian seperti Kemensos, Kemenkeu, dan Kemendes yang menyulitkan pelaksanaan proses penyusunan anggaran. Masih banyak kebingungan ketentuan mana yang kemudian dipakai dalam proses formulasi dan pertanggung jawabannya sehingga dapat memperlambat proses penyaluran bantuan.

Kedua, terkait kriteria penerima program. Persoalan kriteria penerima bantuan sosial menjadi sangat urgen. Hal ini tidak lepas dari kondisi dilematis yang dihadapi oleh petugas karena harus memastikan tepat sasaran dan penerima tidak boleh mendapatkan lebih dari satu bantuan pemerintah. Atas syarat tersebut ada ketakutan dengan banyaknya program pemerintah seperti PKH, BPNT, bantuan dari daerah, dsb sehingga dapat meleset dari target group yang disyaratkan dan beresiko terjadi tumpah tindih dalam penerimaan program. Selain itu pada awal proses pendataan, terdapat dua sumber kriteria calon penerima BLT-DD yang cukup membingungkan implementor di tingkat desa (Smeru Research Institute, 2020). Sumber pertama adalah Permendes PDTT No. 6 Tahun 2020 yang menetapkan tiga kriteria penetapan sasaran dan sumber kedua adalah Surat Menteri Desa PDTT No. 1261/PRI.00/IV/2020 Tanggal 14 April 2020 Perihal Pemberitahuan. Dalam peraturan ini, lampiran tentang pedoman pendataan calone penerima BLT-DD memuat 14 kriteria yang mirip dengan kriteria rumah tangga miskin (RTM) dari Kementerian Sosial. Pada umumnya, informan berkeberatan dengan 14 kriteria tersebut.

Mereka menyatakan bahwa sangatlah sulit menemukan keluarga yang memenuhi 9 kriteria calon penerima bansos, apalagi 14 kriteria. Keresahan tersebut diperparah dengan adanya persyaratan administratif bagi calon penerima bansos dan skema penyaluran bansos secara nontunai. Dalam pendataan, keharusan untuk mencatat NIK sebagai syarat untuk mendapatkan BLT-DD

menyebabkan sebagian keluarga yang sesungguhnya layak menerima BLT-DD tidak mendapatkan haknya karena tidak memiliki dokumen tersebut. Sementara itu, penyaluran BLTDD secara nontunai akan sulit dilakukan karena tidak semua warga miskin memiliki rekening bank.

Ketiga, integrasi program social security yang dijalankan pemerintah pusat. Beberapa bantuan sosial nyatanya belum mempertimbangan data penerima program Pemerintah Pusat dalam pemberian bantuan. Kondisi tersebut menyebabkan persoalan khususnya kondisi sosial di masyarakat karena ada peluang penerimaan program tidak ideal seperti yang diagendakan. Hal tersebut dikarenakan target group yang dicover terjadi tumpang tindih khususnya bagi warga yang kehilangan pekerjaan. Sedangkan disisi lain peran desa (dalam penyaluran BLT-DD) kurang signifikan dalam proses sinkronisasi data atau penyampaian penerima bantuan dan Program Pemerintah Pusat kedalam satu data. Hal ini dikarenakan fungsi desa hanya menjadi media sosialisasi dari program Pemerintah Pusat. Kondisi ini dilihat sebagai kekurangan bagi perangkat desa karena mereka tidak dapat memastikan penerima bantuan dari Pemerintah Pusat.

Hal ini dikarenakan warga melakukan pendaftaran secara mandiri dan tidak ada ketentuan melaporkan jika menerima. Sehingga jika tidak ada keterbukaan dari penerima program tersebut peluang mendapatkan dua program akan sangat tinggi. Kondisi ini selain akan merugikan masyarakat yang harus lebih banyak mendapatkan bantuan, program ini menjadi tidak merepresentasikan efektivitas dan keadilan dalam delivery kebijakan. Selain itu, proses formulasi Permasalahan umum terkait ketidakakuratan data juga terjadi karena pandemi COVID-19 memunculkan kelompok rentan baru yang terdampak secara ekonomi yang sebelumnya tidak termasuk dalam basis data penerima bantuan sosial. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan pendataan sasaran penerima bantuan sosial yang dilakukan dengan cepat dan tepat. Prosedur pendataan yang saat ini dilaksanakan membutuhkan proses bertahap yang memakan waktu, disamping adanya permasalahan sumber daya manusia yang kurang mampu beradaptasi dalam situasi pandemi sehingga dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada dua permasalahan utama yang perlu disoroti, yaitu ketidaksiapan birokrasi dalam merespons situasi krisis dan kurangnya kepemimpinan (aktor dengan posisi dan kapasitas untuk mengontrol koordinasi). Permasalahan seperti ketidakakuratan data, yang pada akhirnya menyebabkan penyaluran bantuan sosial tidak tepat sasaran memang bukan masalah baru. Namun, permasalahan ini menjadi semakin rumit ketika cara penyelesaiannya masih menggunakan mekanisme baku yang sebenarnya dirancang untuk diterapkan dalam kondisi normal, bukan pada saat terjadi krisis. Pada masa krisis seperti pandemi, mekanisme tersebut tidak mampu merespons urgensi dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan bantuan secara cepat.

Pada akhirnya, program kebijakan sosial merupakan upaya yang dapat menyelamatkan ketahanan sosial masyarakat sehingga stabilitas masyarakat akan terganggu apabila program tersebut tidak menjangkau kepada masyarakat yang membutuhkan. Krisis kesehatan yang belum berhenti secara signifikan telah berdampak pada ekonomi dunia yang praktis membuat seluruh negara di dunia harus menunda rencana strategis yang telah ditetapkan untuk kemudian digantikan kebijakan tanggap darurat dengan memobilisasi semua sumberdaya untuk mengatasi wabah COVID-19 dan juga dengan berbagai program kebijakan sosial untuk menghindari masyarakat dari kemiskinan ekstrem sehingga realisasi kebijakan BLT-DD diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat dan memicu peningkatan produktivitas dimana basis ekonomi desa yang umumnya adalah sektor pertanian membuat pengurangan kemiskinan pada rumah tangga pertanian dipercaya sebagai kunci dalam mewujudkan penurunan angka kemiskinan nasional.

Referensi: Bantuan Langsung Tunai Dana Desa untuk Menangani Dampak Pandemi COVID-19: Cerita Dari Desa. 

Catatan Penelitin Smeru No. 4/2020. Smeru Research Institute Coronavirus Cases (Diakses dari https://www.worldometers.info/coronavirus/ pada tanggal 1 Desember 2021)

Suari dan Giri. 2021. Analisis Terhadap Potensi Maladministrasi Bantuan Langsung Tunai Dana Desa Selama Pandemi COVID-19. Jurnal Kertha Negara Vol.9 No.2

(Nafirotul Karima adalah Mahasiswi Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang. Tinggal di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita