Minggu, 29/09/2019, 10:00:39
Menyikapi Media Sosial yang Semakin Kursial
Oleh: Khoas Rizki Nur Awaliah

Masyarakat Telematika indonesia (MASTEL) merilis survei tentang informasi palsu (hoax) yang tengah marak di Tanah Air. Media sosial menjadi sumber utama dari peredaran hoax. Sebanyak 91,8 persen responden mengatakan berita mengenai sosial, politik, baik terkait pemilhan kepala daerah atau pemerintah, adalah jenis hoax yang paling sering ditemui, dengan persentase di media sosial sebanyak 92,40 persen. Selain itu, 62,8 persen responden mengaku sering menerima hoax dari aplikasi pesan singkat seperti Line, Whatsapp atau telegram.

Keadaan yang terjadi saat ini bukan menyoal pada usia lagi. Bahkan anak-anak yang belum memenuhi standar orang dewasa sudah menikmati teknologi. Fenomena terjadi seringkali ke arah yang lebih negatif terkait dengan penggunaan teknologi untuk kalangan siapapun. Banyak terjadi penculikan melalui media sosial dikarenakan perkenalan yang tidak nampak sehingga menimbulkan mereka yang melihat lewat fotonya sudah mampu memengaruhinya. Bsa dikatakan 70% orang-orang yang menggunakan teknologi sesuia dengan kebutuhan dan tidak menghasilkan kenegatifan.

Berkaca dari hal-hal tersebut pada 17 april 2019 adalah pemilu baik calon legislatif maupun presiden. Hal demikian mengundang segala pakar dalam bidang tertentu untuk mengkampanyekan dirinya. Dari hal tersebut timbullan bahwa media merupakan jembatan untuk mengkampanyekan terhadap mereka yang akan menduduki kursi persaingan di pemilu nanti. Berita-berita yang terjadi bukan hanya pada tontonan saja, namun banyak media yang menyediakan dalam bentuk tulisan termasuk koran (media cetak). Dalam media pun mereka akan berlomba-lomba untuk merangkai berita seindah mungkin bahkan tidak sedikit yang bisa menyelewengkan berita tersebut.

Gerakan literasi dalam hal ini, menjadi sebuah gerakan nyata untuk mengantisipasi berita hoax yang sering terjadi. Masyarakat awam hanya mampu membaca sedangkan dalang dalam penulisan adalah  media. Sensititifme terhadap politik terlihat pada pekan-pekan ini, karena menjelang pesta demokrasi, memang sudah seharusnya dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang bersifat hoax harus ditindak lanjuti. Seringkali setiap kejadian hanya berujar pada pengalaman dan pada serangan secara personal itu sendiri, bukan kepada bukti.

Gerakan literasi ini bisa dilakukan melalui seminar-seminar yang dilakukan di sekolah-sekolah atau pada tingkat kelurahan. Dengan hal tersebut menjadikan surutnya kontruks berfikir negatif masyarakat atau pembaca terhadap hal yang disajikan. Berita-berita hoax sangat marak di mana-mana. Bahkan seringnya ialah mengklain kubu lawan agar tidak terlihat indah di depan para pembaca. Sedangkan pembaca yang tidak memiliki daya kritis tentu akan dengan mudahnya mempercayainya, bahwa berita tersebut adalah memang benar-benar terjadi.

Hoax tentu dibuat untuk memengaruhi kontruks berfikir publik. Dengan hal tersebut kaum akademisi memiliki misi untuk menyelamatkan dunia literasi dari kabar-kabar yang memnag belum jelas. Jangan sampai tanpa sadar ternyata semua orang sudah menikmatinya. Pesta demokrasi ini hanya dinikmati lima tahun satu kali, tentunya antisipasi dengan hal-hal yang menjadi hambatannya adalah menyelamatkan orang banyak.

Alangkah lebih baiknya sebagai pembaca yang langsung menyimpulkan begitu saja, kita harus tabayun dulu dengan berbagai kasus yang sekarang sedang terjadi. Terlebih semua berita sudah pasti memiliki kepentingan masing-masing. Yang harus diwaspadai adalah jangan mudah untuk menympulkan agar mampu meredamnya rasakekecewaan yang tidak dilandasi dengan permasalahan yang sedang terjadi.

(Khoas Rizki Nur Awaliah adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Peradaban Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita